Di Kabupaten Wonogiri terdapat banyak tempat wisata
yang bisa dikunjungi. Baik wisata spiritual, petualangan, wisata alam dan lain
sebagainya. Di antaranya obyek wisata Waduk Gajah Mungkur, wisata ganthole.
Terdapat sebuah situs bersejarah bernama
"Kahyangan" di dusun Dlepih, Tirtomoyo, yang jaraknya kurang lebih 47
km dari ibu kota kabupaten Wonogiri.
Dari Kota Wonogiri, pengunjung bisa naik bus dari
terminal bus giriwono dan naik minibus dari dekat ponten (dekat Kantor Badan
Pertanahan), jurusan Tirtomoyo. Dari Tirtomoyo, bisa naik angdes jurusan
Kahyangan atau Sukarjo. Sampai sekarang belum ada angdes yang bisa masuk sampai
Kahyangan, sehingga harus dilanjutkan jalan kaki sekitar 1 Km. Pengunjung
berkendaraan bisa langsung sampai ke tempat parkir Kahyangan.
Sebetulnya desa Taman dulunya merupakan sentra batik
tulis, yang produknya banyak disetorkan ke Solo, untuk diproses lanjut. Banyak
warga desa yang bergerak di bidang yang berhubungan dengan batik, baik sebagai
pembatik, pembuat patron, pemasok kain mori. Akan tetapi, seiring dengan
diperkenalkannya teknik pembuatan genting press, yang hasilnya cepat diperoleh,
maka semakin lama industri batik semakin tergeser.
Sesampai di Kahyangan, pengunjung akan mendapati goa
yang terletak di atas kedung. Konon, tempat itu sebagai tempat bersemedinya
Danang Suto Wijoyo, atau yang dikenal dengan Panembahan Senopati, raja pertama
kerajaan Mataram Islam. Selain itu, terdapat pula air terjun, dan puncak
Kahyangan yang konon merupakan tempat di mana Sutowijoyo menemuai Kanjeng Ratu
Kidul, sehingga bagi yang percaya tahyul, dilarang memakai baju yang berwarna
hijau.
Tempat itu sangat ramai di malam menjelang pergantian
tahun Jawa (bulan Suro). Banyak pendatang dari luar daerah, terutama dari
daerah Yogyakarta, untuk bertirakatan di sana. Di hari-hari biasa, terutama
malam Jumat Kliwon, biasanya banyak dikunjungi orang-orang dari luar daerah,
yang mengadakan syukuran atas keberhasilan yang telah dicapai di tempat
perantaunnya, dengan mengundang warga sekitar.
SEJARAH
TEMPAT WISATA KAYANGAN
Blog ini sengaja mengupas tempat-tempat wisata yang ada
di wilayah Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Indonesia. Ini dimaksudkan agara
para blogger dapat mengenal Wonogiri lebih dekat.
Kali ini yang saya tampilkan adalah tempat wisata
religi di Kahyangan, Kecamatan Tirtomoyo.
Objek Wisata Kahyangan
Berdasar cuplikan Babad tanah Jawa yang diceriterakan
oleh KRT Wignyo Subroto, RM Ng Cipto Budoyo dan RM Ng Sastro Purnomo BA,
ketiga-tiganya adalah pejabat Kawedanan Hageng Punokawan Widya Budaya yang
membidani adat dan kebudayaan keratonkasultanan Yogyakarta, bahwa mengenai
latar belakang Hutan Kahyangan Dlepih dikeramatkan adalah sebagai berikut.
Kahyangan pernah digunakan untuk bertapa bagi sunan
Kalijaga (salah satu wali sembilan), Raden Danang sutawijaya (putra angkat Sri
sultan Hadiwijaya di Pajang), Raden Mas Rangsang (Sultan Agung
Hanyokrokusumao), pngeran Mangkubumi (Sri Sultan Hamengkubuwono I).
Sunan Kalijaga bertapa di Kahyangan
Beliau bertapa agar mendapat derajad keluhuran budi .
Beliau ditemani seorang muridnya yang setia, bernama Ki Widonanggo. Sunan
Kalijaga setiap habis sholat pasti melakukan dzikir dengan menghitung biji
tasbih. Suatu ketika Ki Widonanggo ingin sekali memiliki tasbih tersebut dengan
jalan merebutnya dari tangan sunan. Namun niat jelek tersebut tidak terwujud
karena tasbih terputus dan bijinya jatuh tersebar di Kedung Pasiraman.
Oleh karena biji tasbih tersebut dilihat Ki Widonanggo
masih terapung semua, maka dia langsung terjun ke Kedung Pasiraman bermaksud
mengembalikannya. Namun dengan suatu keajaiban biji-biji tersebut langsung
tenggelam. Maka gagalah Ki Widonanggo untuk memiliki tasbih itu. Karena
perbuatannya itu Ki Widonanggo akhirnya diminta menunggu hutan Dlepih.
Panembahan Senopati.
Menurut kisah sejarah bahwa Raden Danang Sutowijaya
adalah putra angkat Sultan Hadiwijaya di Pajang dari anak kandung Ki Gede
Pemanahan. Setelah menginjak dewasa beliau nampak memiliki bakat yang besar
dalam ilmu kanuragan, serta ilmu ketatanegaraan. Kemampuan beliau telah
dibuktikan sewaktu masih kanak-kanak menjelang remaja, mampu menaklukan Arya
Penangsang, Bupati Jipang yang hendak menentang Pajang. Haryi Penangsang tewas
dalam pertempuran melawan Danang Sutawijaya atas bantuan siasat Ki Gede
Pemanahan dan Ki Penjawi, diganjar bumi Pati Pesantenan sedang Ki Gede
Pemanahan diberi bumi Mentaok.
Menurut ramalan Ki Ageng Giring, bahwa bumi mentaok
tersebut kemudian hari akan menjadi kerajaan besar. Ramalan tersebut menimbulkan
kekhawatiran Sultan Hadiwijaya, sehingga beliau menunda pemberian bumi Mentaok
kepada Ki Gede Pemanahan. Setelah agak lama, Ki Gede Pemanahan minta tolong
kepada Sunan Kalijaga untuk menagih kepada Sultan Hadiwijaya perihal bumi
Mentaok. Bareulah kemudian bumi Mentaok diberikan penuh kepada Ki Gede
Pemanahan.
Bumi Mentaok yang merupakan tanah perdikan (berdaulat
penuh), akhirnya menjadi daerah yang ramai dan makmur, sehingga layak menjadi
suatu kerajaan tersendiri. Danang Sutawijaya sebagai calon raja masih merasa
ragu-ragu akan keselamatannya karena beliau merasa bukan keturunan raja atau
bangsawan. Disamping itu beliau belum mempunyai calon permaisuri sebagai
pendamping. Maka kemudian Raden Danang Sutawijaya minta waktu untuk bertapa
terlebih dahulu untuk minta berkah Ilahi sekaligus mencari calon permaisuri.
Perjalanan bertapa Raden Danang Sutawijaya mengarah ke
timur. Sampai Madiun, beliau berjumpa Retno Dumilah, putri Raden Ronggo
Prawirodirjo, Bupati Madiun. Atas Permintaan Raden Danang Sutawijaya, bahwa
Rtno dumilah akan dijadikan permaisuri setelah nanti dinibatkan menjadi Sultan
Mataram. Sebelum beliau mendapat firasat bahwa Retno Dumilah kelak akan menjadi
ibu (babon) raja di Jawa.
Oleh sebab itu setelah dipinang, Retno Dumilah segera
dibawa ke Mataram. Dalam perjalanan ke Mataram, Raden Danang Sutawijaya
teringat hutan Dlepih yang pernah digunakan bertapa oleh Sunan Kalijaga untuk
minta rahmat Ilahi, Maka beliau bersama Retno Dumilah tidak segera pulang ke
Mataram tetapi singgah sementara waktu di DFlepih dan menginap di rumah Ki
Puju.
Ki Puju adalah seorang petani yang sehari-harinya
mencari kayu bakar di hutan Dlepih. Istrinya Ny Puju, sebagai penjual pecel
yang sangat terkenal dengan masakan dari pucuk daun puju.
suatu hari Raden Danang Sutawijaya minta ijin kepada
Retno Dumilah bahwa akan masuk kehutan Dlepih untuk bertapamengikuti jejak
Sunan Kalijaga. Retno Dumilah sengaja ditinggal di rumah, karena tempat yang
dituju sangat sukar ditempuh dan wingit.
Dalam perjalanan menuju hutan Dlepih, Raden
Danangsutawijaya sampai pada dua batu besar yang bentuknya pipih lebar, sedang
ujung atasnya saling bersinggungan sehingga rongganya dapat digunakan untuk
lewat. Batu tersebut sampai sekarang masih tegar berdiri dan dinamakan batu
selo gapit atau selo panangkep, kemudian beliau meneruskan perjalanan menuju
selatan melalui sela gapit. Setelah sampai pada batu besar yang berongga
semacam goa, datar dan atasnya melebar seperti payung. Beliau berhenti dan
melakukan tafakur di situ. Batu tempat bertafakur tersebut dinamakan sela
payung atau batu pamelengan.
Raden Danang Sutawijaya adalah orang muslim taat, maka
walaupun menjalani tapa dengan cara patrap semedi, tetapi saat tertentu
melakukan sholat lima waktu. Untuk melakukan sholat dipilihnya batu gilang yang
hitam mendatar bagaikan sebuah meja yang terletak di sebelah selatan Selo
Payung. Batu tempat sholat itu dinamakan Selo Gilang atau batu pesalatan.
Begitu pula pada pagi dan sore hari, Raden Danang
Sutawijaya melakukan mandi di sebuah air erjun dekat batu pesalatan yang airnya
jernih. Kedung tersebut dinamakan kedung pasiraman.
Demikian kegiatan sehari-hari Raden Danang Sutawijaya
di hutan Dlepih. Sedang setiap ahrinya untuk keperluan makan dan minum dikirim
oleh Ny Puju, karena Rteno Dumulah tidak berani melanggar perintah calon
suaminya masuk hutan Dlepih. Setelah beberapa hari berjalan, sebagai manusia
biasa Retno Dumilah memiliki rasa cemburu terhadap Raden Danang Sutawijaya yang
betah di dalam hutan Dlepih.
Kemudian Retno Dumilah mengutus Ki Puju untuk
menyelidiki kegiatan calon suaminya. Maka berangkatlah Ki Puju ke dalam hutan
mengintip kegiatan Raden Danang Sutawijaya.
Bertepatan waktu pada hari itu Raten Danang sutawijaya
sedang semedei di selo pamelengan didatangi oleh Kanjeng Ratu Kidul, yang telah
menjadi kekasihnya semenjak beliau di muara kali opak (pantai laut selatan).
Oleh karena pertemuan dua insan itu dirasa kurang enak, Raden Danang Sutawijaya
mengajak pindah dari batu pamelengan ke selo Gilang yang lebih sepi dan
terlindung hutan lebat.
Konon dikisahkan, pada pertemuan tersebut mereka saling
memadu cinta dan Kanjeng Ratu Kidul seperti ikrarnya semula sangggup membantu
berdirinya kerajaan Mataram hingga rakyatnya mengalamikesejahteraan. Alhasil
belum puas mereka melaksanakan pertemuan, Kanjeng Ratu Kidul terperanjat karena
merasa ada seseorang manusia yang mengintgip dari semak-semak belukar. Kanjeng
Ratu Kidul merasa dirinya 'kamanungsan' maka beliau segera melesat menghindar
dan gerakannya menyangkut tasbih Raden Danang Suta Wijaya sampai putus
berserakan jatuh di Kedung Pasiraman. Peristiwa putus dan berantakannya tasibh
Raden Danang Sutawijaya ini sampai sekarang berkembang menjadi beberapa versi.
Versi Mangkunegaran: pertemuan Kanjeng Ratu Kidul
dengan Raden Sutawijaya diketahui oleh Sunana Kalijaga dan beliau menyusul ke
Kahyangan untuk menyuruh Raden Danang agar segera pulang kle Mataram. Namun
Kanjeng Radu Kidul melarang, sehingga niat Raden Danang akan kembali ke Mataram
dicegah daengan menarik tasbih hingga putus berantakan dan bijinya jatuh di
Kedung Pasiraman.
Versi Mataram: Pertemuan Kanjeng Ratu Kidul dengan
Raden Danang Sutawijaya disusul oleh Retno Dumilah sehingga terjadi keributan.
Retno Dumilah mengajak kembali ke Mataram, namun Kanjeng Ratu Kidul melarang,
kemudian Kanjeng Ratu Kidul menarik tasibh hingga putus berantakan. Atas
kebijaksanaan Raden Danang Sutawijaya, keduanya dapat didamaikan dan dijanjikan
bahwa keduanya akan dijadikan permaisuri Mataram. Kanjeng Ratu Kidul dianggap
permaisuri pertama sedang Retno Dumilah sebagai permaisuri kedua. Kanjeng Ratu
Kidul berkenan hatinya menerima Retno Dumilah sebagai saudara mudanya. Pada
saat itu Retno Dumilah mengenakan baju hijau dan kain parangklitik yang nampak
menambah kecantikannya. Kemudian menurut legenda masyarakat, apabila ke Dlepih
atau ke laut selatan dilarang mengenakan baju hijau dan kain parangklitik.
Pemali (larangan) tersebut apabila dilanggar, yang bersangkutan bakal kalap
(tewas), diangap dipersaudarakan dengan abdi dalem Kanjeng Ratu Kidul, yaitu
Nyi Roro Kidul.
Versi cerita rakyat: Yang terperanjat adalah Raden
Danang Sutawijaya dan sangat marah terhadap Ki Puju yang bertindak kurang
berkenan di hati beliau. Tatkala akan mengejar Ki Puju, tasbih Raden Danangsutawija
ditarik oleh Kanjeng Ratu Kidul dengan maksud mencegah, sehingga putus
berantakan jatuh di Kedung Pasiraman. Niat Raden Danang Sutawijaya tersebut
ditahan Kanjeng Ratu Kidul dengan maksud kelao roh halusnya Ki Puju dan Nyi
Puju akan dipersaudarakan dengan Nyi Roro Kidul sebagai abdinya dan bertugas
menunggu hutan Dlepih.
Cerita-ceita tersebut kini jadi mitos dab banyak ditiru
masyarakat.
Masyarakat datang ke Dlepih ada yang nepi (semedi)
namun ada pula yang mencari biji tasbih milik Raden Danang Sutawijaya yang
dikabarkan jatuh di Kedung Pasiraman.
Kegigihan warga dalam berburu biji tasbih, sampai ada
yang rela menyusuri kali Wiroko dari Kecamatan Nguntoronadi terus menuju hulu
sungai sampai di Kedung Pasiraman. Menurut kepercayaan yang berkembang, batu
akik yang dijadikanbiji tasbih milik Raden Danang Sutawijaya dan Sunan Kalijaga
mempunyai kekuatan membawa keselamatan dalam menampuh kehidupan. Bahkan ada
yang menganggap bahwa biji tersebut mampu digunakana untuk menolong seseorang
yang ditimpa kesengsaraan. Misalnya, menyembuhkan dari penyakit.
Dalam berburu biji tasbih, sampai ada warga Desa
Galeng, Kecamatan Baturetno melakukan pembendungan sungai Wiroko. Disamping itu
konon sesudah tasbih Raden Danang Sutawijaya jatuh berantakan, di Kedung Pasiraman
Kanjeng Ratu Kidul menambahka batu bertuah dari laut kidul. Kemudian setelah
Raden Danang Sutawijaya mendapat rahmat Illahi tasa penobatannya menjadi Sultan
Mataram, segera mengajak Retno Dumilah pulang ke Mataram. Sebelum berangkat,
Raden Danang Sutawijaya memanggil Ki Puju dan Nyi Puju agar menunggu dan
menjaga kawaanhutan Kahyangan Desa Dlepih. Selanjutnya, kedua abdi tersebut
melaksanakan perintah hingga roh halusnya pun menunggu hutan Dlepih sampai
sekarang.
Roh halus Ki Widonanggo dan Nyi Widonanggo
menjadikawula (abdi) Kanjeng Ratu Kidul dan menguasai hutan Dlepih. Kemudian
setelah dinobatkan menjadi sultan Mataram, Raden danangSutawijaya diberi gelar
Kanjeng Penembahan Senopati Hing Ngalogo Kalifatullah Sayidin Panatagama.
Sultan Agung bertapa di Kahyangan
Raden Mas Rangsang adalah cucu Panembahan Senopati,
sebagai sultan Mataram III. Sebelum dinobatkan, beliau melakukan tafakur di
Kahyangan seperti halnya kakeknya dahulu, dengan diiringi pembantunya. Raden
Mas Rangsang melalui Sela Penangkep langsung menuju sela Gilang (pesalatan)
melakukan semedi meminta rahamat Tuhan.
Disitulah Mas rangsang ditemui oleh Roh almarhun
kakeknya, Panembahan Senopati seperti hidup kembnali. Beliau memberi restu
cucunya untuk bertahta di Mataram. bahkan berkenan memberi azimat berupa
songsong Agung yang bercahaya mengkilap. Khasiatnya adalah kelak Raden Raden
mas Rangsang mampu memerintah Mataram secara adil bijaksana sehingga Mataram
mengalami kejayaannya. Kemudian Raden Mas rangsang kembaki ke Mataram dan dinobatkan
menjadi raja bergelar Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo.